Cerpen Cinta Romantis

Popeye For Naura

"Tangannya yang halus dengan hati-hati membelai tubuhku, aku terhanyut bersama senandung merdunya, statusnya tak membuatku tenggelam akan jalannya, dia terus memberitahuku betapa pentingnya arti menghargai, aku pun meninggalkannya dengan perlahan, dan kini dia abadi menjadi bayangan"

Selepas masa putih abu, aku dihadapkan oleh dua pilihan yaitu menganggur atau kuliah. Sungguh, aku sama sekali tidak berminat duduk di bangku perkuliahan, yang kerjaannya hanya mengejar gelar, zaman sekarang sarjana sudah banyak, Presiden sudah ada, untuk apa pusing-pusing kuliah. Namun, Ibu tetap memaksaku untuk kuliah, aku tahu tujuan beliau adalah mulia, tak ingin melihat anaknya terkatung-katung, diam di rumah, memeluk gitar seharian, apalagi aku adalah anak lelaki satu-satunya di keluarga ini, walaupun statusku adalah anak bungsu. Benar saja, ketika aku mengikuti tes kuliah untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri, aku tidak di terima di Perguruan Tinggi Negeri yang beberapa menjadi pilihanku. Mungkin, karena aku awalnya sudah tidak niat.

Aku melihat raut wajah Ibu yang menyembunyikan kesedihannya, aku pun merubah jalan pikiranku, tahun depan aku harus lulus kuliah di Perguruan Tinggi Negeri. Ibu sempat menawarkanku untuk kuliah di kampus saudaraku, Om Aldo. Namun, aku menolak keinginan Ibu, mau jadi apa aku nanti kuliah di kampus Om Aldo jika aku tak menghasilkan apa-apa selama kuliah disana, aku takut hanya membuat malu Om Aldo jika aku tak berprestasi apa-apa. Pikiranku pun menjadi kacau, apalagi hubunganku dengan Naura semakin rumit.

Naura adalah adik kelasku, aku dan dia berpacaran sudah lebih dari tiga bulan. Naura adalah perempuan yang cantik, namun ada banyak kerumitan yang menyertai kecantikannya, dan itu sungguh menjengkelkan. Naura, selalu saja cemburu ketika aku dekat dengan perempuan lain, padahal tujuanku hanya berkomunikasi atau menanyakan suatu hal penting. Naura, selalu saja ingin kutemani kemanapun dia pergi, belum lagi sifat cengeng Naura, yang selalu buatku menjadi serba salah.

Ketika, aku sedang di landa kerumitan, saudaraku yang seorang pelayar datang kerumah, dia datang untuk memberi oleh-oleh dari hasil dia berlayar, dia adalah Bang Erwin. Sehabis berbincang dengan Ibu, Bang Erwin mengajakku berlayar, sepertinya Ibu bercerita tentang nasib tak mujurku kepadanya, sehingga dia mengajakku untuk pergi berlayar, namun aku awalnya tak menyanggupi, karena aku tak punya kemampuan apapun di kapal.
"Ayolah, Ben! Kau hanya tinggal diam saja, nikmati birunya lautan!"
"Duh! Gimana ya Bang?"
"Ya, sudahlah! Kau pikirkan lagi saja ya! Kau punya waktu dua minggu untuk berpikir, atau jangan-jangan kau takut jika berlayar, pacarmu diambil orang?"
"Idih, apa sih bang!"
Bang Erwin hanya terkekeh melihat aku yang masih kerut pikir, aku pun menimbang baik buruknya ketika aku ikut berlayar bersama Bang Erwin.
"Sudahlah, kamu ikut Erwin saja, cari-cari pengalaman Nak! sambil mengisi waktu kosongmu. Tahun depan nanti, kita coba daftar kuliah ke Perguruan Tinggi Negeri lagi!" Suara Ibu membuyarkan lamunanku
"Iya, bu! Beni, pikir-pikir dulu ya!"
Ibu menganggukan kepala dan mengusap kepalaku, beliau adalah orang tua yang baik untukku, sampai aku sebesar ini, beliau mengurusku sendirian. Ayahku sudah meninggal ketika aku berumur sepuluh tahun. Ibu tidak pernah mau mencari pendamping hidup lagi, baginya hidupnya kini untuk pengabdian, bukan untuk pencarian.

Akhirnya, tak perlu waktu yang begitu lama, semalaman aku sudah menyakini keputusanku untuk ikut bersama Bang Erwin. Saatnya aku beritahu Naura. Aku pun mendatangi rumah Naura, aku dan keluarga Naura sudah lumayan dekat. Naura keluar pintu kamar, dengan menggunakan baju orange, membuat wajahnya semakin bersinar.
"Hey" aku menyapa Naura
"Iya, Ka! Ko kesini ga ngasih tahu Naura dulu? Kan aku jadinya ga ada persiapan, rambut belum di catok, belum pake parfum, terus aku kan ga pake baju bagus" Naura ngedumel sambil melipatkan bibirnya. Aku hanya diam, dan mencoba menahan emosi, lagi pula aku tak butuh penampilan sempurna dari Naura, aku mencintai dia bukan untuk melihatnya sempurna, aku mencintainya hanya untuk buat hidupku lengkap, dan aku ingin menjadi penata hidupnya, sebaliknya Naura pun menjadi penata hidupku.
"Naura, aku akan pergi selama berbulan-bulan, mungkin bisa sampai lima bulan. Bisakah kamu menungguku?"
"Ka Beni, mau kemana? Ko tega ninggalin Naura?" Mata Naura mendadak berkaca-kaca dan dia belum menjawab pertanyaaanku.
"Aku akan ikut berlayar bersama Bang Erwin, cari-cari pengalaman lah! Sambil mengisi waktu kosong, jadi kalau tahun depan aku keterima kuliah di Perguruan Tinggi Negeri, aku punya cerita untuk teman-teman baruku!"
"Oh, tapi benar kan alasan Ka Beni pergi hanya itu? Bukan ingin menghindariku kan?"
"Iya, Naura! Aku pergi bukan karena ingin menghindarimu, aku hanya ingin mencari pengalaman, percayalah!" Aku menatap mata Naura, supaya Naura mau percaya kepadaku.
Naura pun mengangguk, walaupun terlihat pipinya basah. Aku pun bercerita tentang resiko yang harus Naura terima, jika aku sudah berlayar nanti, salah satunya soal sinyal komunikasi yang sembelit jika sudah berlayar nanti, aku pun tak janji akan menghubunginya setiap waktu seperti saat ini. Aku pun berjanji selama dua minggu ini, akan menemani Naura kemanapun dia pergi.

Suatu hari, Naura mengajakku pergi ke toko pernak-pernik perempuan, jujur saja aku paling tak suka di ajak ke tempat seperti ini. Untuk pertama kalinya, aku menginjakkan kakiku di toko penuh pernak-pernik yang kebanyakan berwarna pink, karena biasanya aku menunggu di luar jika mengantarkan Naura ke tempat ini. Naura menarikku dan menunjukan sesuatu yang membuatku tertawa.
"Ka Beni, ini gantungan olive kaka simpen ya, biar inget terus sama aku"
"Hehehhehe, iya Naura"
"Aku pegang gantungan Popeye, aku mau gantungin di depan pintu kamar ah, hehehe, kalau ka Beni mau digantungin di mana?"
"Mmmm, di mana ya? Di lubang idung aja kali ya?"
"Ih, bercandanya jelek"
Setelah Naura membeli dua gantungan yang satunya untukku, dan satunya untuk dia sendiri, aku mengajak Naura keliling kota. Aku pergi ketempat-tempat yang mengandung unsur-unsur kenangan. Tak hentinya, aku memegang tangan Naura dan mengajaknya bernyanyi. Tak terasa besok, aku harus segera berangkat meninggalkan Naura, Ibu, dan semua penghuni rumah. Ketika akan naik ke kapal, kulihat Ibu melambaikan tangannya sambil mengusap air mata, kulihat juga bayangan Naura yang seperti menahanku untuk pergi, dan situasi ini membuatku sedih. Aku mengingat sebelum aku pergi, Naura menelponku dan dia berkata untuk memintaku tetap menjadi popeye yang kuat dan setia untuknya.

Bulan demi bulan berganti, sudah banyak tempat yang aku kunjungi, sungguh ini adalah benar-benar pengalaman yang tak terlupakan. Aku pasti akan merindukan suasana lautan nanti. Aku sudah tak sabar ingin bertemu Ibu, dan untuk Naura? Aku semakin kehilangan perasaan untuknya, setiap kali aku niat untuk mencurahkan kerinduanku, dia malah menyerangku dengan tuduhan-tuduhan bahwa aku akan meninggalkannya, padahal sudah kubilang sebelumnya, jika aku berlayar nanti sinyal tak akan seramah seperti di daratan. Aku hampir putus asa menghadapi Naura. Ketika aku sedang menggalaukan nasib cintaku, tiba-tiba Bang Erwin datang kekamarku.
"Ben, kamu lagi apa?"
"Eh, lagi diem aja nih Bang!"
"Aku kira kamu sakit, sudahlah jangan berdiam diri terus, keluarlah nikmati matahari tenggelam, pemandangan ini akan kamu rindukan nanti"
"Mmmm, iya Bang!"
"Sudah! Jangan galau, besok aku janji akan ajak kamu berlibur menikmati kehidupan kedua!" Bang Erwin terkekeh sebelum menutup pintu
"Maksudnya apa bang?"
"Liat saja besok, Ben!"
Aku penasaran akan hal yang dikatakan Bang Erwin tadi, perkataannya membuatku semakin berkerut saja.

Akhirnya, pagi pun datang kapal mendarat disebuah tempat, menurut Bang Erwin kapal akan mendarat selama lima hari, sambil menunggu barang datang. Bang Erwin mengajakku meninggalkan kapal, dan kamipun berjalan menyusuri pantai, aku dan Bang Erwin ketika di pantai, di sambut oleh dua orang perempuan seumuran Bang Erwin, aku masih belum mengerti tentang perkataan Bang Erwin kemarin dan kedatangan dua perempuan itu malah semakin buatku tak mengerti. Kemudian, aku mengerti apa yang di maksud Bang Erwin akan kehidupan kedua, di sini adalah semacam tempat prostitusi, aku di suruh Bang Erwin untuk memilih perempuan mana yang aku suka, aku menolak dan meminta pergi, tapi Bang Erwin memaksa sampai akhirnya aku menuruti apa yang dikehendaki Bang Erwin, aku tidak memilih namun dipilihkan oleh perempuan yang tadi menyambut kami di pantai, aku pun dihadapkan di sebuah pintu, ketika aku membuka pintu dengan ragu, aku tak melihat siapapun, namun kemudian keluarlah seorang perempuan berambut panjang terurai, cantik, anggun, dan terlihat pintar, aku kaget dan tak percaya jika dia adalah seorang perempuan bayaran.
"Halo, sudah lama menunggu?" dia menyapaku dengan sopan
"Barusan saja saya masuk, mmmmm" aku bingung harus berbicara apa dan bagaimana.
"Aku tahu, kamu adalah pemula, jangan canggung. Kamu boleh anggapku teman, jika kamu tak bisa perlakukanku semestinya, aku bisa mendengarkan curahan isi hatimu saat ini" dia menatap mataku dengan dalam, dan sungguh kecantikannya layaknya artis-artis di televisi.

Aku masih diam membisu, sampai akhirnya aku berbicara, karena dia bertanya tentang sesuatu yang memancingku untuk bicara.
"Kamu punya wajah yang begitu tampan, aku tak percaya jika statusmu masih sendirian, kamu sudah punya pacar kan?"
"hmmm, betul sekali anggapanmu, aku memang sudah punya pacar. Namun, aku sedang muak akan sikap perempuan itu"
"Kenapa? Bukankah tak pantas seorang lelaki berbicara seperti itu? Kesalahan apa yang dia perbuat?" Dia bertanya kepadaku dengan lemah lembut sambil memijit bahuku, tersibak wangi rambutnya membelaiku sebelum menjawab pertanyaannya.
"Tingkahnya konyol, dia selalu gunakan segala cara untuk dekat denganku, beberapa minggu yang lalu, temannya mengirim pesan kepadaku, katanya pacarku masuk rumah sakit, aku sudah kelimpungan, khawatir tak karuan, dan ketika aku telpon Ibunya, aku langsung tanyakan keadaan pacarku, dan kabar dari Ibunya, pacarku tak pernah masuk Rumah Sakit, pacarku sedang baik-baik saja. Belum lagi, terus beberapa hari yang lalu ada tiga nomor baru datang mengirimiku pesan, dan semuanya meminta kenalan, aku yakin pasti itu ulah pacarku, dan ternyata benar saja ketika aku mencoba menelponnya, dia memang pacarku, harusnya aku yang marah, tapi malah sebaliknya, dia menyangka aku yang kegenitan, padahal aku sudah tahu ini ulah dia" Emosiku terbakar, jenuh pun berhasil menguasai diriku ketika aku bercerita tentang Naura.
"Tenanglah, tenang! Berapa umur pacarmu?"
"16 tahun!"
"Wajar saja, kamu yang harus bersabar, dan rajin memberi dia pengertian. Dia tak mau kehilanganmu, aku juga bila jadi pacarmu akan bersikap seperti itu. Perempuan memang rumit, sesederhana apapun, sebaik apapun, sepintar apapun, perempuan pasti mempunyai kerumitan yang harus dimengerti setiap lelaki" perempuan itu tersenyum dan menatap mataku, seketika emosiku luluh lantah dengan tatapannya.
"Oya, siapa namamu?"
"Namaku Beni, kalau mmmmmmmmmmmmmmm" aku ragu menyebutnya dengan sebutan apa, tante, mbak, atau kakak? Aku bingung memanggilnya apa karena usianya sepertinya lima tahun diatasku.
"Panggil saja aku, Lolita!. Tak usah kamu tambahkan dengan sebutan mbak atau kakak, apalagi Tante" dia tertawa dengan sangat renyah. Aku hanya menganggukan kepala, kemudian dia menyuruhku untuk tidur, dia hanya memijiti kakiku, kemudian pergi berlalu entah kemana.

Keesokan paginya, Lolita datang membawa nasi goreng, dan teh hangat.
"Selamat pagi, ganteng! Bagaimana tidurmu? Aku sudah buatkan sarapan untukmu"
"Oh... iya. Aku ke belakang dulu ya!"
Dia hanya tersenyum dan menganggukan kepala, kemudian kulihat dia membereskan seprei di kamar yang aku jadikan tempat tidur semalam, ketika aku akan kembali lagi ke kamar, aku melihat Bang Erwin masih tertidur dengan gadisnya di ruang tengah, sepertinya semalam sudah ada pesta. Ada beberapa wajah awak kapal kulihat juga di ruang tengah, sepertinya mereka datang menyusul semalam.
"Lolita, mari kita sarapan" aku mencoba menyapanya duluan, tanpa kaku lagi aku mulai berani menggenggam tangannya.
"Sudah berani pegang tanganku rupanya, lelaki tampan satu ini" Dia menyiapkan piring sambil menatap mataku dengan pandangan yang sangat menggemaskan.
Aku pun menikmati sarapan pagi sambil menatap matanya yang hijau, kulitnya yang terkena sinar matahari, membuat aku ingin menjadikannya milikku seutuhnya, namun entah mengapa bayangan Naura hadir dan jelas-jelas itu mengganggu.

"Lolita, aku mencintaimu sejak pagi ini, dan ketika semalam aku sudah mulai mengagumimu" entah apa yang membuatku berani mengungkapkan hal gila ini.
"Masih pagi, Ben! Jangan ngawur!"
"Jika semalam kamu berkata semua perempuan itu rumit, aku tak menemukan kerumitan sama sekali darimu, kamu sempurna Lolita"
"Ben, kamu jangan terlalu singkat menebak diriku, jika saja kamu tahu. Hidupku begitu rumit, bahkan aku lebih rumit. Aku hidup ditemani ketakutan, aku takut di hajar istri pelangganku jika sampai ketahuan, aku takut terkena penyakit, aku takut tak punya uang, aku takut kematian dan ketakutanku selama ini kusimpan rapat-rapat dalam senyuman, aku tak sesempurna yang kamu kira" Lolita menundukan kepalanya, matanya berubah menjadi layu. Seburuk apapun yang dikatakan Lolita tentang dirinya, bagiku dialah wanita terhebat yang pernah kutemui. Mataku dan Lolita saling bertatapan, setelah Lolita utarakan semuanya. Sarapan pagi pun berlanjut, Lolita tersenyum lagi.

Sudah dua hari aku bersama Lolita, sempat aku menerima pesan dari Naura. Namun, semuanya aku abaikan. Aku begitu nyaman disamping Lolita, dari sudut manapun Lolita terlihat cantik. Ketika matahari terbenam, aku selalu bersama Lolita, menikmati matahari terbenam. Ketika malam datang, Lolita menemaniku kembali. Disampingnya, aku begitu hanyut dalam buaian bersama sentuhan yang belum pernah aku rasakan, suara merdunya selalu mengantarkanku ke dalam mimpi indah. Hari berganti terasa begitu cepat, saatnya aku meninggalkan tempat ini. Namun, aku sungguh tak mau pergi bersama Bang Erwin, jika saja bukan karena Ibuku, Bang Erwin pasti sudah membiarkanku tinggal disini, aku ingin terus bersama Lolita.
"Aku akan kembali lagi kesini, aku janji" ucapku kepada Lolita
"Tak usah kamu berikan aku janji, apalagi bukti. Ini hanya kenangan, tak boleh terulang lagi!" Lolita menggenggam erat tanganku dan mencium kedua tanganku.
"Kamu anggap apa aku beberapa hari yang lalu? Kamu perlakukan aku dengan hangat, mustahil jika kamu tak mencintaiku! Jujurlah Lolita!"
"Aku dan kamu sudah terpaut beda, kita tak akan pernah bisa bersatu. Jalanmu masih sangat panjang, kamu sudah di nanti seseorang, Ben! Jangan menyia-nyiakan yang sedang menantimu, mungkin di kehidupan lain aku bisa jadi kekasihmu. Aku akan datang berupa bayangan di saat kamu kesepian."
"Aku mencintaimu Lolita!"
"Aku juga, namun kekasihmu yang pantas bersamamu"
"Dia tak bisa jadi apa yang aku mau, dia dia..." Ucapanku terputus ketika Lolita menempelkan jarinya di bibirku.
"Ssssttt, Beni! Seburuk apapun sifat dia sekarang, dia hanya butuh waktu! Dia hanya butuh waktu untuk berubah, dan jangan jadikan dia seperti apa yang kamu mau, perlakukan dia dengan baik, tuntunlah dia dengan pengertian dan kasih sayang yang tulus darimu, dia butuh pembuktian!"
Tak kuasa diriku untuk menahan tangis, aku menangis untuk pertama kalinya di depan wanita yang kucintai. Mengapa waktu pertemukan aku ketika aku tak bisa hidup bersamanya, ketika aku tak bisa memilikinya?. Dia terlalu indah untuk kujadikan kenangan, dia terlalu indah untuk menjadi bayangan. Aku memeluknya begitu erat, aku pandangi mata indahnya sampai puas. Lolita tak mau memberikanku nomor handphone, dia menyuruhku pergi dan cepat-cepat melupakannya.

Ketika aku kembali ke tempat asalku, aku segera menemui Naura. Aku meminta maaf atas segala ketidakpengertianku kepadanya, kuberikan kalung mutiara untuknya sebagai tanda bukti bahwa Naura kini berarti dalam hidupku. Kini aku dan Naura sama-sama menyadari akan kesalahan-kesalahan yang dulu pernah sama-sama kita lakukan. Kini aku sudah kuliah di Perguruan Tinggi Negeri, dan hidupku begitu banyak berubah. Pernah suatu hari, aku berkata kepada Bang Erwin jika Bang Erwin ke tempat Lolita lagi, tolong sampaikan salam kepada Lolita. Lolita kini hanya menjadi bayanganku. Lolita kini sudah nyaman berada di keabadian, Bang Erwin mengabariku bahwa Lolita sudah menutup mata untuk selamanya, entah apa sebabnya.

Cerpen Karangan: Ambiwwa Novita
No comments :

No comments :

Post a Comment